Perda Syariah atau Injil, Mengapa Perlu Ditolak?
![]() |
Sumber: hubpage |
Hari-hari ini, kalau
kita membaca sejumlah pemberitaan media, baik luring maupun daring, kita
menemukan perdebatan yang cukup hangat mengenai keberadaan peraturan daerah
(perda) syariah atau injili. Kontroversi berawal dari pernyataan Ketua Umum
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natali, beberapa waktu lalu.
Sebagaimana diketahui, saat memperingati HUT PSI ke-4, Grace dengan tegas
menyatakan PSI tidak akan pernah mendukung perda berlandaskan agama tertentu,
misalnya Perda Syariah atau Perda Injil.
Penegasan Grace
tersebut bukan tanpa alasan. PSI menilai penolakan perda berbasis agama
tersebut merupakan bagian dari iktiar untuk mencegah terjadinya ketidakadilan,
diskriminasi, dan berbagai tindakan intoleransi di Indonesia. Pertanyaannya,
apakah alasan PSI ini cukup rasional dan layak untuk kita setujui? Mari kita
periksa dan evaluasi.
Banyak Mudaratnya
Perda berbasis agama,
menurut saya, punya kecenderungan mempertajam dan memperkuat identifikasi diri
seseorang terhadap agamanya. Menurut Amartya Sen (2006), rasa memiliki
identitas (agama) itu baik adanya. Ia bisa menjadi sumber lahirnya rasa bangga
dan perasaan bahagia. Mampu memberikan kehangatan hubungan seseorang dengan orang
atau kelompok lain yang seagama. Begitulah cara berada manusia tanpa kecuali.
Hanya saja, kita harus
sadar, identifikasi berbasiskan agama seperti itu bisa memunculkan rasa
keterikatan yang kuat dan ekslusif antara para penganutnya. Lalu, tercipta
persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari penganut agama yang berbeda. Satu
sama lain merasa terasing. Gesekan, perselisihan, konflik, bahkan perilaku
anarkis antar individu atau kelompok orang beragama sangat mudah terjadi.
Selain mempertajam
identifikasi kepada agama dengan berbagai dampak negatifnya, perda berdasarkan
agama juga akan menciptakan diskriminasi. Sebab aturan itu secara tak langsung
memberikan keistimewaan kepada kelompok agama tertentu melalui perda yang
dibuat, dan mengabaikan kelompok agama lainnya. Yang paling ekstrim, perda ini
justru bahkan bisa berpotensi untuk melegitimasi tindakan intoleransi kelompok
agama yang satu terhadap kelompok penganut keyakinan atau agama lainnya.
Dampak buruk perda
berbasis agama dinyatakan secara gamblang oleh beberapa tokoh. Mahfud MD,
misalnya, menilai hukum agama yang diperdakan tak ada gunanya. Malah berpotensi
menimbulkan diskriminasi. Hukum syariah dan sejenisnya, menurutnya, adalah
hukum perdata yang tidak perlu dirumuskan menjadi perda. Mendiang KH Hasyim
Muzadi dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafi'i Maarif juga pernah terang-terangan menolak perda
syariah. Sosok-sosok yang layak dinobatkan sebagai bapak bangsa ini
mempertanyakan urgensi perda berbasis agama.
Melampui Sekat
Agama
Kita harus bangga, kita
dianugerahi sebagai negara yang majemuk. Beragam dalam banyak hal, termasuk
dalam konteks agama dan keyakinan. Kemajemukan ini menjadi identitas khas dan
unik masyarakat kita. Dalam kondisi plural ini, pemerintah hadir sebagai
pengayom untuk semua warganya. Apapun agama dan keyakinannya.
Dalam masyarakat
plural, tugas pemerintah adalah memastikan dan menjamin kebebasan para warganya
untuk menjalankan agamanya. Tanpa mencederai dan mengganggu masyarakat lain
yang berbeda keyakinan. Dalam konteks ini, pemerintah adalah wasit yang netral.
Wajib memberikan perlakuan yang sama dan setara kepada seluruh warga, tanpa kecuali.
Ringkasnya, negara hadir melampui sekat agama.
Tugas tersebut adalah
wasiat dari para pendiri bangsa, yang diwariskan melalui konsep Pancasila dan
Konstitusi kita. Soekarno yang merupakan sosok yang pertama kali mencetuskan
konsep Pancasila dengan sengaja memasukkan konsep “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sisi
religious ini tidak bersifat teologis, tetapi lebih bermakna sosiologis.
Kalau kita membaca buku
"Lahirnya Pancasila, Kumpulan Pidato BPUPKI" (2006), melalui pidato
bersejarah dalam rapat akbar BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan: "Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme
agama'. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!"
Penerapan pidato
Soekarno itu tidak untuk masyarakat yang homogen, tetapi untuk masyarakat
Indonesia yang memiliki agama dan keyakinan yang beragam. Prinsip Ketuhanan ini
sama sekali tidak dipahami berdasarkan perspektif agama tertentu, tetapi dalam
konteks keberagaman cara mengimani dan memahami sosok “Yang Esa” itu.
Dengan begitu, tugas
negara (dan pemerintah daerah) adalah memberikan kesempatan yang luas kepada
semua umat beragama untuk menjalankan keyakinan masing-masing. Perda
berbasiskan agama harus dipertimbangkan dalam kerangka pemikiran para pendiri
bangsa kita ini. Dibaca dalam bingkai konstitusi dan konsep Pancasila, yang
menjunjung tinggi kebhinekaan.
Pemerintah daerah
seyogyanya lebih fokus menangani pengentasan kemiskinan, masalah kesehatan dan
gizi buruk, masalah buta huruf, pembangunan infrastruktur, dan pembenahan
sistem dan kinerja birokrasi daerah yang masih buruk. Biarlah masalah moral dan
iman menjadi ranah kerja dan domain para pemuka dan pemimpin agama. Setiap
agama pasti mengajarkan nilai-nilai solidaritas, tenggang rasa, perasaan
empati, sikap toleran, dan respek terhadap yang lain.