Etika Tanggung Jawab Pansel KPK

Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) telah mengajukan sepuluh nama calon pimpinan KPK kepada DPR. Siapa pun lima orang yang lolos dalam fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) DPR, sudah diandaikan bahwa nama yang diajukan Pansel adalah mereka yang dinilai memiliki kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang memadai, serta reputasi dan integritas moral yang baik. Pengandaian itu bisa dirujuk pada proses seleksi yang dilakukan dengan metode yang relatif ketat, melewati beberapa tahap penyaringan, yaitu tahap seleksi adminstratif, penilaian makalah, dan profile assesment.

Kita patut memberi apresiasi kerja keras Pansel dalam usaha menemukan figur-figur yang benar-benar layak menduduki jabatan pimpinan KPK. Namun, sikap respek ini harus dibarengi dengan sikap kritis kita yang konstruktif. Karenanya, pertanyaan berikut patut kita ajukan. Apakah mereka yang direkomendasikan Pansel itu benar-benar orang yang tepat? Atau, jangan-jangan Pansel malah terkecoh dan salah memilih orang?

Pertanyaan ini kontekstual sebab para calon belum bekerja sehingga masih belum bisa dibuktikan bobot atau kualitas mereka yang sesungguhnya. Acuan penilaian Pansel juga hanya merujuk kepada rekam jejak para calon hingga pada saat mereka menjalani seleksi. Dengan demikian, sesungguhnya mereka hanya merupakan figur potensial yang memiliki berbagai aspek dan kapasitas memberantas korupsi. Karakterisatik ‘possibility’ ini menjadi hantu bagi Pansel, para pimpinan KPK terpilih, dan terutama bagi keberhasilan upaya pemberantasan korupsi.

Persoalannya semakin rumit, karena Pansel dan para calon pimpinan KPK akan berhadapan dengan fakta berikut. Pertama, ciri hakiki eksistensi para anggota calon sebagai manusia, mengutip Soren Kierkegaard, adalah terbuka terhadap banyak kemungkinan. Sebab sebagai manusia mereka berpotensi untuk menyerap dan beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Masa depan para kandidat, yaitu ketika mereka mulai menjalankan tugasnya hanya akan berhadapan dengan dua kemungkinan penilaian: mereka adalah orang-orang yang tepat, atau sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang tidak tepat. Dengan demikian, integritas dan kualitas mereka saat ini tidak bisa menjadi barometer integritas dan kualitas mereka pada saat bertugas sebagai pimpinan KPK.

Ini sama sekali bukan analisis yang bersifat abstrak, tetapi justru berangkat dari pengalaman. Sekedar contoh, tentu masih segar dalam ingatan kita oknum anggota Komisi Yudisial yang baru-baru ini ditahan karena tertangkap tangan menerima suap, atau sejumlah anggota KPU periode lalu yang dipidanakan karena karena kasus korupsi. Mereka ini adalah orang-orang yang dalam penilaian Pansel merupakan orang-orang yang berintegritas, tetapi …ya itu tadi, fakta telah berbicara lain.

Kedua, orientasi materialistis, hedonistis, dan budaya instan telah mencengkeram sum-sum tulang belulang masyarakat kita. Kondisi ini mengarahkan orang mengikuti dan mencoba mengambil apa saja yang diinginkannya secara spontan bilamana ia memiliki kesempatan untuk melakukanya. Prinsip moral mengenai baik dan buruk sama sekali diabaikan. Orang bertindak semata-mata berdasarkan kepuasan, kesenangan, dan keterpenuhan atas apa yang diinginkan.

Korupsi merupakan anak kandung mentalitas seperti itu. Ia menjadi endemik karena telah berurat akar, sehingga sulit dihilangkan, bahkan malahan semakin menjadi-jadi. Boleh dikata kejahatan korupsi atau suap telah mensistem dan menstruktur. Karenanya tidak perlu heran bila kita menemukan bahwa cukup banyak tokoh yang berintegritas telah meleburkan diri dalam ‘kerumunan’ tindak tanduk koruptif itu.

Ketiga, kita tidak bisa menampik fakta bahwa jangkauan penilaian Pansel terbatas. Sebab mereka hanya bisa mengetahui kapasitas calon berdasarkan apa yang bisa diamati dan mungkin untuk diverifikasi. Dalam bahasa Kantian, kapasitas yang bisa diketahui pansel hanya penampakan luar (fenomenon), sedangkan kapasitas calon yang sesungguhnya (noumenon) tidak akan tersingkap secara komprehensif. Para calon sendiri bahkan tidak mengenal dirinya secara penuh. Gabriel Marsel membahasakan kompleksitas ini sebagai karakteristik eksistensi manusia yang misterius, sebab susah untuk dipahami sepenuhnya.

Kemisteriusan ini mendudukan Pansel pada posisi yang sulit. Pada satu pihak mereka dituntut untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan. Namun pada pihak lain, mereka juga sadar akan keterbatasan jangkauan verifikasi dan penilaian mereka. Kemisteriusan manusia membawa Pansel kepada kecemasan akan kemungkinan bahwa orang-orang yang mereka pilih dan rekomendasikan ternyata tidak tepat.

Imperatif Tanggung Jawab

Lalu, apakah tugas Pansel selesai ketika nama-nama hasil seleksi diserahkan ke DPR? Bila kita bercermin pada tiga masalah di atas, maka kita bisa dengan lugas mengatakan bahwa sesungguhnya tugas mereka belum selesai. Secara konstitusional tugas dan kewenangan Pansel memang sudah selesai. Namun, mereka memiliki kewajiban untuk menguji dan membuktikan hasil kerja mereka, apakah pilihan mereka tepat atau tidak. Sebab tugas dan kerja pansel menghasilkan ‘dampak berantai’ (net effect). Bobot pilihan mereka akan menentukan bobot upaya pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, kualitas kinerja pimpinan KPK merupakan representasi kualitas seleksi Pansel. Kinerja pimpinan KPK yang buruk menjadi sinyal seleksi Pansel yang tidak memadai.

Sepintas lalu, alur nalar ini kurang meyakinkan. Sebab dengan mudah ia bisa dibantah dengan dalih: ‘pansel kan juga manusia, bisa salah memilih orang’ atau seperti yang dikatakan Rhenald Kasali, ‘orang bisa saja berbohong waktu menjalani seleksi,’ ‘metode seleksinya kurang komprehensif,’ atau ‘waktu seleksi tidak memadai.’ Namun, dalih-dalih itu tidak menjadi alasan bagi Pansel lepas tangan. Malahan dengan adanya tiga persoalan yang menghantui di atas, Pansel justru harus semakin terpacu untuk mengontrol hasil jerih payahnya sendiri.

Dengan kondisi tanpa kewenangan legal, mereka berkewajiban untuk memposisikan diri sebagai agen utama civil society yang benar-benar koncern terhadap kinerja dan sepang terjang KPK. Karena sifatnya yang tidak mengikat, tugas ini lebih merupakan imperatif tanggung jawab personal para (mantan) anggota panitia seleksi. Ketika tugas itu diperankan, maka itu merupakan bentuk tanggung jawab moral Pansel. Dalam tuturan teoritikus etika, Hans Jonas, imperatif itu merupakan bentuk etika tanggung jawab.

Bila peran kontrol itu dijalankan, kinerja para pimpinan KPK yang nanti lolos dari fit and proper test DPR berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Upaya pemberantasan korupsi akan menuai hasil yang maksimal. Lebih dari itu, integritas dan ketokohan para anggota Pansel tidak akan luntur. Mereka layak dihormati dan dikenang, bahkan menjadi pahlawan. Sebaliknya, bila mereka meninggalkan tanggung jawab moralnya, taruhannya adalah reputasi mereka sendiri.

(Seputar Indonesia Sore, 6 Desember 07)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel