Tanggung Jawab Moral Penengak Hukum
Hari-hari ini perhatian kita barangkali cukup tersedot oleh pemberitaan mengenai percakapan telepon antara sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung dengan Artalyta Suriyani, terdakwa kasus penyuapan kepada oknum jaksa UTG. Seperti diketahui, rekaman percakapan itu diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Korupsi Rabu lalu. Rencana penangkapan itu diduga menjadi bagian dari skenario menyelamatkan penyuap. Para pejabat tinggi kejaksaan yang terlibat membantah dugaan tersebut. Mereka beralibi percakapan itu justru menjadi skenario mereka menjerat dan menangkap Artalyta. Tujuannya, menjaga keseimbangan antara penerima dan pemberi suap. Tapi dalih ini akhirnya termentahkan oleh hasil pemeriksaan tim internal kejaksaan yang menilai pejabat yang terlibat percakapan telah melanggar disiplin pegawai negeri sipil.
Kasus terungkapnya percakapan tidak etis itu semakin mengukuhkan tindakan korupsi yang terjadi secara sistemik, terus meluas, dan lepas kendali di Republik ini. Praktek kriminal itu telah menjadi endemik, berurat akar, dan sulit untuk dihilangkan. Benar kata Susan Rose-Ackerman, Mahaguru bidang Hukum dan Ilmu Politik dari Universitas Yale, bahwa ‘di Jakarta (baca:Indonesia) korupsi sudah menjadi hal yang biasa.’ Ini terjadi karena ‘ketidakberesan’ dan praktek ‘jual-beli’ perkara oleh sejumlah oknum aparat penengak hukum. Penilaian ini bukan isapan jempol. Ukurannya jelas, tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi sangat rendah sehingga kita masih berkutat dan betah nongkrong di posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia. Sebenarnya pembentukkan lembaga independen seperti KPK secara tak langsung juga membahasakan kondisi ketidakberesan aparat penegak hukum kita. Logikanya, kalau aparat penengak hukum yang ada memiliki kinerja yang bermutu dan bertanggunjawab, tentu saja KPK tidak dibutuhkan.
Pertanyaannya, mengapa tingkat ketidakberesan itu begitu mengental? Mengapa mafia peradilan begitu kuat? Persoalan utamanya terletak pada sisi mutu personalitas aparat penengak hukum. Artinya, praktek korupsi itu merupakan representasi dari integritas, reputasi, dan kualitas pribadi mereka. Praktek korupsi memang memiliki relevansi etis. Tindakan tersebut tidak etis (immoral) atau buruk dari sudut pandang moral karena pelaku menyalahgunakan posisi dan pengaruhnya membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan diri sendiri, sementara pada pihak lain mengakibatkan bencana dan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan logika seperti ini kita bisa katakan bahwa integritas, reputasi, dan mutu moral koruptor sangat rendah. Padahal sisi moralitas merupakan ciri khas manusiawi yang membuat manusia merasa berhak mengklaim memiliki harkat dan martabat luhur.
Lalu, apakah aparat penengak hukum begitu bodoh memahami prinsip moral seperti itu? Jawabannya sederhana: mereka tahu korupsi itu tidak benar secara moral, tetapi mereka tidak peduli. Ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan dan kemauan untuk memberikan refleksi terhadap setiap tindakan mereka. Orientasi materialistis, hedonistis, dan budaya instan barangkali telah mencengkeram sum-sum tulang belulang gaya hidup penengak hukum kita. Ini mengarahkan mereka mengikuti dan mencoba mengambil apa saja yang diinginkannya apabila kesempatan untuk melakukannya ada. Bahkan kesempatan tersebut justru mereka ciptakan dengan memanipulasi aturan hukum. Tindakan diambil semata-mata berdasarkan kepuasan, kesenangan, dan keterpenuhan hasrat individual yang egois.
Dalam alur analisis tersebut, usaha pemberantasan korupsi harus dimulai dari pembenahan mentalitas aparat penegak hukum, sebab mereka merupakan ujung tombak dan tulang punggung upaya menciptakan negara yang bebas korupsi. Pertama, selama ini praktek yang barangkali jamak dilakukan adalah memindahtugaskan atau menurunkan pangkat oknum aparat yang terbukti melanggar kode etik berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perlu ada terobosan khusus yang baru untuk aparat penegak hukum. Oknum yang terbukti melanggar kode etik, baik yang ringan maupun yang berat, jangan diberi tugas dan jabatan struktural apa pun. Kalau perlu dipensiun-dinikan. Terobosan ini diharapkan bisa menciptakan aparat yang berintegritas dan bertanggungjawab. Mata rantai mafia peradilan pun bisa dipotong karena oknum bersangkutan tidak lagi memiliki otoritas, wewenang, kesempatan dan pengaruh tertentu, terutama untuk melakukan ‘jual-beli’ perkara.
Kedua, perlu ada pemberdayaan kesadaran yang bersifat sugestif dan berorientasi pada orang lain. Artinya, setiap aparat penegak hukum perlu melakukan proyeksi terhadap akibat dari setiap tindakan dan keputusan mereka bagi masyarakat banyak dan keberlangsungan negara-bangsa ini. Ini bertalian dengan fungsi penegakan hukum sebagai ‘amanah.’ Setiap keputusan dan tindakan mereka diperuntukan dan berakibat bagi pihak lain. Bila amanah itu dijalankan secara bertanggungjawab, tentu negara bangsa ini bisa menjadi negara yang bebas korupsi. Rakyat pun bisa mendapatkan hak-hak ekonominya. Tetapi, bila terbukti dikangkangi tentu saja rasa keadilan dan hak ekonomi masyarakat banyak akan terbelengu.
Dua ribu tahun lebih yang lampau Aristoteles mengatakan bahwa keutamaan tidak hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan, tetapi terutama melalui habitus: kebiasaan untuk melakukan yang baik. Pembiasaan dan implementasi kedua usulan di atas barangkali bisa mendukung upaya untuk menjunjung tinggi penegakan hukum yang jujur, bersih dan adil. Kita semua tahu, hukum umumnya dijiwai dan memuat kualitas moral. Bila aparat konsekuen menegakkan hukum, pada saat yang sama ia menegakan nilai-nilai etis. Inilah tanggungjawab moral aparat penegak hukum.
(Koran Tempo, 3 juli 2008)