Hoaks sebagai Wajah Destruktif Kebebasan


Saat ini aparat penegak hukum sedang memproses sejumlah kasus hoaks yang menjerat beberapa pelaku, baik yang berperan sebagai pencipta konten, maupun pihak yang ikut menyebarkannya. Seorang kawan dengan sedikit emosional berujar, proses hukum hoaks itu justru berpotensi menghambat orang untuk menyalurkan pendapatnya.  Benarkah demikian?

Kalau ditelisik lebih jauh ke belakang, hoaks pada dasarnya bukan masalah baru. Barangkali isu ini sudah seumur dengan peradaban manusia. Cuma bedanya, dulu atau sebelumnya, penyebaran hoaks masih sangat lambat dan jangkauannya terbatas. Tapi saat ini, ia bisa dengan sangat mudah dan cepat beredar ke seluruh penjuru. Berpindah dari satu orang ke yang lainnya hanya dalam hitungan detik, dengan satu hingga dua kali klik.

Kecepatan penyebaran hoaks ini disokong kuat oleh perkembangan perangkat teknologi internet, yang ditunjang oleh kehadiran masif aneka ragam aplikasi informasi dan interaksi yang menyertainya. Mau tak mau, kita pun harus menghadapi badai aliran informasi hoaks yang berpotensi mengganggu dan merusak tatanan sosial, budaya, politik, bahkan ekonomi kita.

Mengapa penyebaran hoaks itu sangat berbahaya dan merusak? Ia tidak hanya salah dari sudut pandang normatif moralitas, tapi juga memicu tindakan anarkis. Akhir tahun lalu, aparat kepolisian sempat melaporkan bahwa telah terjadi beberapa kasus pengeroyokan terhadap orang gila di Banten. Para pelaku pengeroyokan terprovokasi oleh maraknya isu hoaks penyerangan terhadap ulama dan soal PKI.

Hoaks di media sosial juga memantik kekerasan di Perancis bulan Maret yang lalu. Aksi anarkis ini adalah reaksi terhadap informasi hoaks yang menyatakan bahwa kelompok etnis minoritas Romani telah melakukan penculikan terhadap sejumlah anak. Polisi sudah berusaha meluruskan bahwa informasi tersebut tidak benar. Tapi, klarifikasi aparat ini tidak berpengaruh dan diabaikan begitu saja.

Hal yang sama terjadi di India. Rumor soal kelompok penculik anak yang menyebar luas lewat layanan pesan WhatsApp dan Facebook memicu pembunuhan terhadap puluhan orang tak bersalah. Nilotpal Das dan Abhijeet Nath adalah dua contoh dari puluhan orang yang tewas dibunuh karena dicurigai sebagai pelaku penculikan anak.

Yuval Noah Harari, melalui buku ‘Homo Deus, A Brief History of Tomorrow’ (2015), memberi contoh lain dampak hoaks dalam algoritma pasar saham. Pada 23 April 2013, seorang peretas asal Suriah membobol akun Twitter resmi milik kantor berita Associated Press. Pada pukul 13.07, akun yang diretas ini mencuit bahwa Gedung Putih diserang. Akibatnya Presiden Obama terluka.

Apa yang kemudian terjadi setelah cuitan palsu ini? Algoritma perdagangan seketika langsung memberi reaksi. Penjualan saham kemudian  berlangsung secara gila-gilaan. Indeks pasar saham Dow Jones terjun bebas. Hanya dalam jangka waktu enam puluh detik kehilangan 150 poin. Itu setara dengan kerugian US$ 136 miliar.

Masih banyak contoh lain yang bisa kita sebutkan. Tapi, kiranya beberapa contoh di atas sudah lebih dari cukup untuk membuktikan dan menguatkan pendapat bahwa hoaks itu memang sangat berbahaya dan merusak. Ia bisa berasal dan diciptakan dengan sengaja oleh kelompok/individu tertentu yang ingin memanipulasi fakta dan kebenaran dengan tujuan yang tidak bertanggung jawab.

Informasi tersebut kemudian masuk ke publik melalui internet dan media sosial. Lalu publik menganggapnya sebagai fakta dan kebenaran. Dan jadi acuan untuk mengevaluasi, menilai, dan bertindak terhadap orang atau kelompok tertentu dan atas sebuah peristiwa. Hasilnya, ruang publik berubah menjadi tempat berkumpulnya kebohongan atau kepalsuan.

Tidak berlebihan penilaian Tom Nichols dalam bukunya ‘The Death of Expertise’ (2017). Ia mengatakan sebagian konflik di wilayah publik saat ini adalah keributan yang disokong dan diperkuat oleh jaringan internet dan media sosial. Sebab, internet tidak hanya menjadi tempat penyimpanan dan sumber informasi yang mengagumkan, tetapi juga menjadi lokasi untuk mengumpulkan factoid, yaitu pernyataan palsu yang disajikan sebagai fakta atau berita yang sebenarnya, lalu menyebar ke mana-mana.

Penyebaran hoaks menjadi jauh lebih berbahaya ketika berpadu padan dengan tendensi alami kita sebagai manusia, yang disebut Nichols sebagai “bias konfirmasi”. Yang dimaksud dengan bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang hanya bisa memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang kita terima sebagai kebenaran. Tidak peduli apakah informasi dan data itu hasil manipulasi atau tidak.

Dengan dampaknya yang merusak tersebut, apakah tindakan memproduksi dan menyebarkan hoaks masih layak dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi kebebasan untuk berpendapat? Dari perspektif hak asasi manusia, kebebasan untuk mengekspresikan pandapat memang menjadi salah satu hak paling dasar semua manusia. Dan dalam sebuah negara yang demokratis, kebebasan berpendapat adalah sebuah kebutuhan. Diskusi publik menjadi hidup dan bermakna kalau kebebasan berpendapat diberi tempat yang layak.

Namun, patut diingat, ekspresi kebebasan itu tetap ada batasnya. Ia tetap menuntut tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pendapat yang disampaikan mestinya berpijak pada data, fakta, dan harus konstruktif. Sesungguhnya, produksi dan penyebaran hoaks adalah bentuk kebebasan berpendapat yang salah dan destruktif, sehingga wajib dihindari dan ditindak tegas.

Pendekatan hukum terhadap masalah hoaks adalah bagian integral dari bentuk permintaan pertanggungjawaban terhadap informasi palsu yang diproduksi dan disebarkan tersebut. Dengan demikian, tidak tepat kalau langkah hukum dianggap sebagai upaya pembatasan dan pengekangan hak untuk berpendapat. Asalkan masyarakat tetap mengawal dan memastikan proses hukum tersebut berjalan dengan benar, adil, dan objektif.

Sasaran tindakan hukum adalah memberikan efek jera, yang secara tak langsung diharapkan ikut membentuk dan mendorong terciptanya masyarakat yang makin melek dalam berinternet dan bermedia sosial.

Hanya, perlu diingat, pendekatan hukum saja tidak cukup. Masyarakat perlu secara proaktif belajar untuk berpikir dan bersikap kritis. Berusaha mengambil jarak dan menguji semua informasi yang diterima dari internet dan media sosial. Dengan demikian, ruang publik kita bisa menjadi tempat untuk menyebarkan informasi dan mengadu gagasan secara objektif, logis, terukur, tanpa prasangka emosional atau pribadi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel